BANYUWANGI| JWI – Ribuan penari Gandrung memenuhi bibir Pantai Marina Boom Banyuwangi pada Sabtu lalu (25/10/2025). Hamparan pasir di tepi Selat Bali berubah menjadi lautan warna dan gerak saat Festival Gandrung Sewu 2025 digelar dengan penuh kemegahan. Tahun ini, festival mengusung tema “Selendang Sang Gandrung”, yang merefleksikan kisah perjuangan, cinta kasih, dan semangat kebersamaan masyarakat Osing dalam menjaga warisan budaya leluhur.
Sebanyak 1.300 penari tampil menawan, datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, mulai dari Banyuwangi, Malang, Kediri, Sidoarjo, Gresik, hingga Papua dan Sumatera Selatan. Bahkan, seorang penari dari Amerika Serikat turut bergabung dalam harmoni budaya yang mendunia.
Salah satu yang turut berpartisipasi adalah para siswi SMP Negeri 1 Sidoarjo, yang dengan penuh semangat membawakan tarian berjudul “Selendang Sang Gandrung.”
Generasi Muda Menjaga Nyala Budaya
Saat mentari sore menurunkan sinarnya di langit Banyuwangi, selendang merah berayun pelan mengikuti irama angin. Di tengah lingkaran para siswi SMP Negeri 1 Sidoarjo, langkah-langkah kecil namun pasti membentuk harmoni indah. Mereka bukan sekadar penari, mereka adalah penjaga warisan budaya, generasi muda yang menari untuk negeri.
Dengan busana khas berwarna hitam, merah, dan emas, para penari muda itu menampilkan gerak lembut namun tegas. Setiap kibasan kipas dan selendang memancarkan makna kebersamaan, sukacita, serta kebanggaan menjadi bagian dari bangsa yang kaya budaya.
Kepala SMP Negeri 1 Sidoarjo, Matnuri, S.Pd., M.M., menyampaikan bahwa kegiatan seni ini merupakan ruang ekspresi sekaligus pendidikan karakter bagi siswa.
“Kami ingin anak-anak tumbuh tidak hanya cerdas di kelas, tetapi juga berkarakter dan berbudaya. Tarian Gandrung menjadi media untuk menanamkan nilai disiplin, tanggung jawab, serta kebanggaan sebagai pelajar Indonesia,” ujarnya.
Bagi para penari muda ini, setiap latihan adalah proses menemukan makna baru dalam kebersamaan. Di balik gerak yang tampak indah di atas panggung, tersimpan kisah tentang kerja keras, tawa, bahkan rasa lelah yang mereka ubah menjadi semangat.
Salah satu penari, dengan mata berbinar, mengungkapkan perasaannya setelah tampil di panggung:
“Awalnya saya gugup sekali, tapi begitu musik mulai, semua rasa takut hilang. Kami menari bukan cuma untuk tampil, tapi untuk menunjukkan bahwa budaya kita itu indah dan harus dijaga,” tuturnya sambil tersenyum.
Perpaduan Seni, Tradisi, dan Pariwisata
Rangkaian Festival Gandrung Sewu 2025 juga diawali dengan ritual Meras Gandrung, prosesi sakral pengukuhan penari Gandrung menjadi profesional. Acara utama digelar di tepi Pantai Marina Boom, berpadu dengan panorama laut dan irama gamelan khas Osing, menciptakan suasana magis antara alam, budaya, dan spiritualitas.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani dalam sambutannya menegaskan bahwa festival ini bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan simbol kebersamaan masyarakat Banyuwangi.
“Gandrung Sewu bukan hanya pagelaran budaya, tetapi cermin kegotongroyongan dan cinta terhadap daerah. Dari sinilah Banyuwangi menunjukkan bahwa budaya bisa menjadi kekuatan ekonomi dan kebanggaan bersama,” ujarnya.
Makna yang Melampaui Panggung
“Selendang Sang Gandrung” bukan hanya tarian, melainkan pesan simbolis bahwa di tengah derasnya arus modernisasi, generasi muda Indonesia, seperti para siswi SMPN 1 Sidoarjo, masih setia memeluk budaya leluhurnya.
Ketika selendang merah itu dikibaskan ke udara, dunia seakan berhenti sejenak, menyaksikan bagaimana anak-anak bangsa menari bukan hanya dengan tubuh, tetapi dengan hati yang mencintai tanah airnya.
Reporter: Tim JWI
Editor: Redaksi Java Watch Indonesia


















